Seandainya oh seandainya

Diposting oleh Haddad Sammir

Kalau aku berada pada duniaku dengan keadaanku saat ini, pastilah karena pilihanku. Hari selasa bulan maret, tanggal dua puluh empat, dua puluh dua tahun yang lalu. Aku memulai tarikan nafas pertamaku, menangis, merasakan udara hangat ruang bersalin. Menebak-nebak, mereka-reka, mulai menggunakan semua potensi tubuh yang diberikan Tuhan kepadaku.

Oh kawan ... sudah lama kejadian itu berlalu. Kau tahu kawan, dua puluh dua tahun yang memiliki ber triliun-triliun pilihan.

Seorang anak muda yang katakanlah biasa saja. Tidak ada yang spesial. Tapi itulah aku, yang terdampar pada satu keadaan dari pilihanku yang ku pilih dari bertriliun-triliun pilihan yang aku miliki.

~~~

Lima menit yang lalu aku dihadapkan pada pilihan-pilihan. Aku punya kehendak bebas untuk menentukan apakah hendak membuat secangkir susu coklat hangat atau secangkir teh. Empat menit yang lalu aku memutuskan membuat secangkir teh. Seperti biasa, teh sumatera dengan satu sendok teh gula. Dan saat ini aku sedang menikmati secangkir teh hangat.

Tentu akan berbeda halnya jika “seandainya” empat menit yang lalu aku memutuskan membuat secangkir susu coklat hangat. Lebih dari itu, “seandainya” aku lebih membuka pikiranku, empat menit yang lalu aku bisa saja memutuskan membuat secangkir kopi.

Seandainya oh seandainya. Kata ajaib itu bagaikan sebuah mantera yang seolah-olah melenyapkan semua masalah. Untuk lebih mujarab harus dirangkai dengan mantera-mantera tambahan seperti: “mungkin saja”, “bisa saja” atau bahkan “pasti”.

Aku berikan kau sebuah contoh mantera mujarab agar sukses menjadi sarjana, warisan turun temurun raja jin dari selatan: “Seandainya aku rajin belajar, pasti sekarang sudah jadi sarjana”.

~~~

Setiap waktu menghasilkan jutaan pilihan dan tentu saja menghasilkan jutaan cerita. Dan setiap cerita akan diperbaiki hanya dengan sebuah mantera.

Waktu dan pilihan adalah dua sejoli kehidupan. Menggores buku harian dengan cerita-cerita yang harus dibacakan keras-keras kepada dunia.

Dan saat ini aku harus bacakan keras-keras ceritaku pada dunia.

~~~

Kalau kau merasa malu dengan ceritamu, kau cocok berteman denganku. Mari kita berkawan.

Sejujurnya kawan, aku telah dihukum oleh pilihanku. Tidak hanya itu, waktu yang tidak bisa dipisahkan dengan pilihan juga ikut-ikut menghukumku. Sendainya oh seandainya. Mengapa mantera itu yang selalu menghinggapi pikiranku? Mentang-mentang ia adalah kata ajaib. Penawar racun, pengobat rindu atau mungkin saja adalah pelarian terindah.

~~~

Kawanku sayang, “seandainya” aku lebih keras kepada diriku, “mungkin saja” saat ini aku sudah bisa terbang. “Seandainya” aku bersedia berempati dan belajar lebih rajin “bisa saja” sekarang aku sudah sarjana. “Seandainya” aku memilih pilihan yang lain “pasti” ceritaku akan berbeda.

Tapi aku sadar hidup tidak bisa diubah dengan pengharapan. Hidup hanya bisa diubah dengan tindakan. Pendapat yang sangat idealis! Bicara memang mudah!

Ya ... saat waktu semakin menyempit, pilihan semakin terbatas. Tapi tetap ada alasan untuk memilih yang terbaik. Aku memilih jalan ini karena aku punya harapan didalamnya. Dan setiap tindakanku adalah langkah-langkah yang ku tempuh untuk meraih impianku.

~~~

Sekarang saatnya untuk mengoreksi kembali. Buruknya kisah hidupku adalah karena aku membuat pilihan sebelum cerita. Langkah – walaupun kecil – harus memiliki tujuan. Tujuan adalah acuan dalam gerak. Dan cerita hidup kita yang akan kita bacakan keras-keras kepada dunia adalah acuan kita dalam membuat pilihan.

Aku tidak tahu apakah pendapatku ini benar, tetapi karena aku sayang padamu kawan aku sampaikan ini dengan harapan jika menurutmu benar ambilah, namun jika menurutmu salah tinggalkanlah.

“””
Pada waktu ini aku bergerak, dituntun impian menuju cerita yang ku inginkan. Ceritaku membawaku pada pilihan yang tepat . Dan pilihanku akan menuntunku menuju impianku ...
“””

[]

Tulisan ini adalah sebuah pengakuanku terhadap kesalahan dan kelalaianku. Yang (selalu) aku harapkan menjadi momentum bagiku untuk menjadi lebih baik.

Terima kasih kepada yang telah mengajariku bahwa “waktu adalah aspek paling penting dalam hidup” dan telah (dengan sukses) membawaku ke tempat yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Aku begitu menghargai dan tidak akan melupakannya.

0 komentar:

Posting Komentar